Minggu, 06 Maret 2011

Anxiety ( Perasaan Khawatir )

Share this history on :

Anxiety ( Perasaan Khawatir )

Setiap orang pernah mengalami anxiety ( merasa khawatir ) pada suatu saat. Ada yang mengkhawatirkan ujiannya berhasil apa tidak atau tidak berhasil lulus, ada yang mengkhawatirkan pacarnya bisa dipercaya apa tidak.

Menurut Krech dkk ( 1983 ) kekhawatiran sampai pda batas tertentu merupakan hal yang normal dan berfungsi sebagai sistem alarm yang memberikan tanda – tanda bahaya, sehingga orang yang mengalaminya menjaddi lebih siap menghadapi keadaan yang akan muncul.
Selanjutnya Greis dkk ( 1986 ) mengemukakan bahwa sulit menentukan batasan normal dan abnormal dari anxiety, karena hal tersebut merupakan suatu kesinambungan. Biasanya penilaian derajat anxiety satu dengan yang lainnya berdasarkan pada jarak waktu berlangsung, intensitas, kaitannya dengan gangguan lain dan apakah gejalanya sepadan dengan keadaaan sebenarnya yang di hadapi orang tersebut.

Makin lama anxiety berlangsung dan makin tinggi intensitasnya, maka makin abnormal kondisi orang tersebut. Menurut wilkinson ( 1989 ) mendefinisikan anxiety sebagai suatu keadaan stress tanpa penyebab yang jelas dan hampir selalu disertai gangguan pada susunan saraf otonom dan gangguan pencernaan. Selanjutnya Greist ( 1986 ) secara lebih mendefinisikan anxiety sebagai suatu ketegangan mental individual yang bersangkutan merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena senantiasa harus berada dalam keadan waspada terhadap ancaman bahaya yang tidak jelas.

Anxiety berbeda dengan takut. Pada gejala takut obyek atau bahaya yang ditakuti jelas. Sedangkan anxiety obyek atau keadaan bahaya yang dikhawaatirkan tidak jelas, tidak memiliki cukup alasan untuk di takuti, dan tidak rasinal.
Gejala Anxiety
Ada berapa gejala anxiety yang biasa terjadi :
  1. Seorang yang mengalami anxiety cenderung tidak sabar, mudah tersinggung, sering mengeluh, sulit berkonsentrasi dan mudah terganggu tidurnya atau mengalami kesulitan tidur.
  2. Penderita anxiety sering mengalami gejala seperti : mudah bekeringat berlebihan walaupun udara tidak panas dan bukan sudah berolahraga, jantung berdegup keras dan ekstra cepat, dingin pada tangan dan kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi batas kewajaran dan lain sebagainya.
  3. Penderita anxiety juga sering mengeluh sakit pada persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu rileks, sering terkejut dan ada kalanya disertai gerakan – gerakan wajah atau anggota tubuh lainnya secara berlebihan. Seperti pada saat duduk terus menerus menggoyangkan kaki, merenggangkan leher dll




Cara Mengatasi Anxiety
1. Menggunakan obat obatan yang tergolong anti anxiety drugs. Penggunaan ini harus sesuai dengan petunjuk dokter ahli.
2. Menggunakan metode eksposure.
3. Menggunakan simulasi pertandingan atau uji coba
4. Menggunakan metode meditasi
5. Menggunakan pendekantan kognitif melalui konseling.

            Teori kesatuan psiko-fisik atau teori psiko-fisik totalitas berkembang karena para ahli menyadari bahwa oranq yang keadaan kejiwaannya mengalami gangguan, karena rasa susah, gelisah atau ragu-ragu menghadapi sesuatu, ternyata mempengaruhi kondisi fisiknya. Akibat rasa susah dan gelisah menghadapi masa depan, seseorang kurang dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya mempengaruhi tingkahlaku dan penampilannya. Sebaliknya keadaan fisik yang kurang sehat, karena sedang sakit, sesudah mengalami kecelakaan dan cidera, juga dapat mempengaruhi kejiwaan individu yang bersangkutan; kurang dapat memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi, kurang dapat berfikir dengan tenang, kurang dapat berfikir dengan cepat, dan sebagai-nya.
Sejak lebih kurang setengah abad yang lalu adanya hubungan timbal-balik antara jiwa dan raga, atau antara gejala fisik dan psikik, telah menjadi bahan pembahasan para ahli psikologi. Ronge (1951) menyebutkan manusia sebagai suatu organisme, yang mengikuti hukum-hukum biologi, hukum-hukum dalam pikir, rasa keadilan, dan sebagainya. Perasaan atau emosi memegang peranan penting dalam hidup manusia. Semua gejala emosional seperti: rasa takut, marah, cemas, stress, penuh harap, rasa senang dsb, dapat mempengaruhi perubahan-perubahan kondisi fisik seseorang. Perasaan atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologik seperti: ketegangan otot, denyut jantung, peredaran darah, pernafasan, berfungsinya kelenjar-kelenjar hormon tertentu.
Sehubungan itu semua maka jelaslah bahwa gejala psikik akan mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet. Dalam hubungan ini pengaruh gangguan emosional perlu diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi "psychological stability" atau keseimbangan psikik secara keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap pencapatan prestasi atlet.
Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai prestasi yang tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu; misalnya untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam cabang olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus dapat memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat berkonsentrasi penuh meski ada gangguan angin atau suara, dan lain-lainnya. untuk, menjadi peloncat indah atau peloncat menara yang berprestasi tinggi, atlet yang bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri, keberanian, daya konsentrasi, kemauan keras, koordinasi gerak yang baik, dan rasa keindahan; ini semua akan dapat, terganggu apabila atlet yang bersangkutan mengalami gangguan emosional.
Emosi atau perasaan atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam olahraga, karena emosi atlet di samping mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan yang lain (akal dan kehendak), juga mempengaruhi aspek-aspek fisiologiknya sehingga jelas akan berpengaruh terhadap peningkatan atau merosotnya prestasi atlet.
Ditinjau dari konsep jiwa dan raga sebagai kesatuan yang bersifat organis, maka gangguan emosional terhadap diri atlet akan berpengaruh terhadap keadaan kejiwaan atlet secara keseluruhan, ketidak-stabilan emosional atau "emotional instability" akan mengakibatkan terjadinya psychological instability", dan akan mempengaruhi peran fungsi-fungsi psikologisnya, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pencapaian prestasi atlet.

1. Apakah pengertian dari Anxiety (kecemasan) dalam olahraga?
2. Apakah pengertian dari stres dalam olahraga ?
3. Bagaimana Dampak Psikologiknya?
4. Bagaimana upaya pengendaliannya

                      Pengertian Anxiety (Kecemasan) dalam Olahraga
Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005:28) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai.. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Taylor (1995) mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lain-lain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya). Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman dan efekivitas dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang.
Lebih lanjut Saparintah dan Sumarno Markam (1982) membedakan beberapa jenis kecemasan ditinjau dari bagaimana terjadinya kecemasan, yaitu:
1.      Kecemasan yang “conditioned” (ada hubungan dengan masa lalu),
2.      Kecemasan karena kekurangan keterampilan (Instrumental deficit),
3.      Kecemasan karena pernyataan diri yang menimbulkan kecemasan (anxiety-arousing self-statemens),
4.      Kecemasan karena tindakan yang dilakukannya sendiri (tuntutan yang terlalu tinggi atas diri sendiri)
5.      Kecemasan yang dikarenakan lingkungan fisik/social yang sangat gawat (“untenable”), misalnya orang tua atau pelatih kurang bijaksana (terlalu kejam, dan lain-lain).
Kita semua tentu pernah merasa takut atau cemas dalam berbagai situasi. Takut dimarahi, takut tidak lulus, takut tidak pass, takut kalah, dan sebagainya. Demikian pula atlet. Dalam menghadapi pertandingan, wajar saja kalau atlet menjadi tegang, bimbang, takut, cemas, terutama kalau menghadapi lawan yang lebih kuat atau seimbang, dan kalau situasinya mencekam. Ketakutan pada atlet pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori (Cratty, 1973):
a.       Takut gagal dalam pertandingan,
b.      Takut akan akibat sosial atas mutu prestasi mereka,
c.       Takut kalau cedera atau mencederai lawan,
d.      Takut fisiknya tidak akan mampu menyelesaikan tugasnya atau pertandingan          dengan baik,
e.       (Dan percaya atau tidak), ada pula atlet yang takut menang.
Hasil-hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa atlet paling takut pada akibat sosial yang akan mereka peroleh atas mutu prestasi mereka. Misalnya takut gagal memenuhi harapan pelatih, KONI, pemerintah, dikritik, dikecam masyarakat.
Dalam hal ini ada beberapa hal kecemasan yang berhubungan dengan olahraga, diantaranya
1.  Kecemasan dan Motif Berprestasi
Suasana stress sering sekali membuat seseorang hidup penuh gairah, karena dapat mengatasi suasana penuh stress dapat menimbulkan kepuasan dan kebanggaan pada diri seseorang. Yang lebih penting dalam pembinaan atlet, yaitu meningkatkan kemampuan mengatasi stress juga akan menjauhkan kemungkinan atlet mengalami kecemasan.
Stress yang berlangsung terus-menerus dapat menimbuikan kecemasan, karena itu tingkat ketegangan yang dapat menimbulkan stress harus selalu dimonitor terus-menerus, disesuaikan dengan kemampuan atlet menghadapi suasana stress. Di samping itu tingkat berat-ringannya, tegangan yang dapat ditanggung oleh atlet, khususnya atlet yunior, juga harus selalu diperhatikan karena stress atau ketegangan psikis yang terlalu besar, yang tidak tertahankan oleh atlet, juga dapat menimbulkan kecemasan.
Crafty (1973) membedakan kemungkinan timbulnya kecemasan karena takut cidera atau "harm anxiety" atau kecemasan karena takut gagal atau "failure anxiety". Penelitian lebih lanjut mengenai kecemasan karena takut cidera dan kecemasan karena takut gagal, diakui oleh Crotty belum dikembangkan lebih lanjut. Mengenai kecemasan karena takut gagal di satu pihak dan harapan untuk sukses di lain pihak merupakan hal yang cukup menarik untuk dijadikan bahan studi.
Selama berlangsungnya Olympic Games 1968 oleh para ahli psikologi olahraga telah diadakan penelitian mengenai hubungan antara kecemasan, motif berprestasi, dengan penampilan para atlet. Atlet-atlet sebagai subyek penelitian dibagi dalam empat kelompok, yaitu yang memiliki kecemasan tinggi atau "high anxiety" dan yang memiliki kecemasan rendah atau "low anxiety"; kemudian tiap kelompok tersebut dibagi lagi atas dasar (kriteria) mereka yang memiliki motif berprestasi tinggi atau "high needs for achievem dan yang memiliki motif berprestasi rendah atau "low needs for achievement.

2. Kecemasan dan Prustasi
Antara stress, "arousal", dan kecemasan atau "anxiety", menurut Richard H. Cox ada keterkaitannya. Kecemasan dapat didifinisikan sebagai perasaan subyektif  berdasarkan ketakutan dan meningkatnya "physiological arousal" (Levitt, 1980).
Mengenai hubungan stress dengan kecemasan, Soparinch dan Sumorno (1982) mengemukakan sebagai berikut: "Bila stress yang dialami seseorang terlalu besar baginya, hingga tidak dapat dilakukan tindakan untuk mengatasi atau bila stress yang dihadapi seseorang berlangsung terus-menerus, maka akan timbul kecemasan. Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan ternyata atlet tersebut mengalami kekalahan terus-menerus. Rasa cemas yang terjadi pada suatu keadaan tertentu disebut "State Anxiety". Menurut Spielberger (1985) "state anxiety" adalah keadaan emosional yang terjadi mendadak (pada waktu tertentu) yang ditandai dengan kecemasan, takut, dan ketegangan; biasanya diikuti dengan perasaan cemas yang mendalam disertai ketegangan dan "physiological arousal".
Di samping "state anxiety" juga dikenal "trait anxiety", yaitu rasa cemas yang merupakan sifat-sifat pribadi individu. Trait anxiety merupakan sifat pribadi yang lebih menetap (seperti sifat pembawaan). Atlet yang memiliki "trait anxiety" biasanya menunjukkan sifat mudah cemas menghadapi berbagai permasalahan, khususnya pemasalahan yang berhubungan dengan keamanan pribadinya atau "emotional security"-nya. Perasaan cemas pada dasamya terjadi karena individu khawatir akan terganggu personal security"-nya, oleh karena itu individu yang bersangkutan menunjukkan gejala cemas, yang mengandung rasa takut.
"State anxiety" merupakan gejala khusus bagaimana keadaan individu menghadapi situasi tertentu yang mengganggu "personal security"-nya; "state anxiety" mempunyai rujukan obyektif (objective reference). "Trait anxiety" sebagai sifat pribadi individu lebih bersifat tetap dan akan tampak pada berbagai peristiwa atau situasi di mana individu yang bersangkutan merasa terganggu "personal security"-nya; "trait anxiety" mempunyai rujukan subyektif (subjective reference).
Sehubungan dengan gejala "trait anxiety" tersebut, Silva dan Weinberg (1984) 'mengemukakan adanya gejala "competitive trait anxiety" (CTA) pada sementara atlet. Gejala CTA tersebut pdalah gejaladi mana atlet menunjukkan rasa cemas dan takut hanya pada waktu akan menghadapi kompetisi saja, dan sesudah selesai kompetisi atlet tersebut tidak menunjukkan kecemasan atau menjadi normal kembali Robert J. Sonstroem (1984) dalam tulisan yang berjudul: "An Overview of Anxiety in Sport" yang dihimpun oleh Silva dan Weiberg dalam "Psychological Foundations of Sport", mengemukakan penelitian Davidson dan Schewartz (1976) yang menggunakan postulat (anggapan dasar) bahwa persepsi mengenai kecemasan dapat dibedakan atas komponen kognitif dan somatik. Temuan Davidson dan Schwartsz tersebut, merupakan temuan yang sangat berguna untuk dapat diterapkan dalam menyusun program pembinaan mental atlet, sehubungan dengan perbedaan.-perbedaan individual atlet yang menunjukkan gejala kecemasan.

3. Frustasi dalam Olahraga
Frustrasi timbal karena individu merasa gagal tidak dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Setiap atlet ingin mendapat kepuasan, ingin terpenuhi kebutuhannya, ingin mencapai harapan untuk menang dan apabila hal tersebut tidak terwujud, maka dapat menimbulkan frustrasi.
Sebetulnya frustrasi bukan hanya disebabkan karena kegagalan saja, tetapi terutama datang dari dalam diri atlet itu sendiri yang diliputi perasaan gagal. Cukup banyak atlet yang gagal dalam suatu pertandingan atau gagal mencapai prestasi sesuai apa yang diinginkan, tetapi tidak mengalami frustrasi.
Dalam hubungan dengan kemungkinan terjadinya frustrasi ini pelatih harus memasukkan program latihan untuk menyiapkan atlet agar slap menghadapi kemungkinan mengalami kegagalan, disamping mendorong atlet untuk berprestasi setinggi-tingginya. Kesiapan mental untuk menghadapi semua kemungkinan, termasuk juga kemungkinan kalah dalam pertandingan merupakan tugas pelatih untuk menyiapkan seorang calon juara.
Frustrasi dapat terjadi pada atlet yang mempunyai sifat pesimis maupun atlet yang mempunyai sifat optimis. Pada atlet yang mempunyai sifat pesimis, pada waktu ia menghadapi kenyataan kurang berhasil atau belum berhasil, mungkin atlet tersebut sudah merasa gagal lebih dahulu. Atlet yang memiliki sifat-sifat pribadi pesimis mudah mengalami frustrasi, karena dalam mengalami kegagalan sedikit saja, dianggapnya sebagai kegagalan yang akan dialami seterusnya.
Seorang atlet yang mempunyai sifat optimis adalah baik, karena tanpa memiliki sifat optimis atlet tidak akan maju; Haman tertalu optimis juga kurang menountungkan. Atlet yang terlalu optimis adalah atlet yang mempersepsikan diri memiliki kemam-. puan lebih dari keadaan senyatanya, yaitu lebih dari kemampuan yang dimiliki sebenar nya. Hal semacam ini terjadi pada atlet yang "over-confidence". Atlet yang terlalu optimis, pada waktu mengalami kegagalan, mudah kecewa, kehilangan keseimbangan ernosinya. Sudah barang tentu hal semacam ini kurang menguntungkan, karena tidak stabiInya emosi akan mengganggu stabilitas psikisnya secara keseluruhan; ini berakibat konsentrasinya terganggu, reaksinya berkurang, koordinasi geraknya juga terganggu, dsb-nya.
Pada dasarnya frustrasi lebih mudah terjadi pada atlet yang belum memiliki kematangan emosional, hal ini juga berkaitan dengan sifat-sifat kepribadian atlet yang bersangkutan. Kepercayaan pada diri sendiri merupakan hal yang perlu sekali ditanamkan sejak dini, karena percaya diri merupakan salah satu hal yang membentuk kemampuan menghindarkar, diri dart kemungkinan terjadinya frustrasi. Menumbuhkan rasa percaya diri merupakan salah satu program latihan mental yang perlu diperhatikan para pelatih.
Tidak sedikit atlet berbakat yang dapat berprestasi tinggi dan dapat menjadi juara, akhirnya gagal dan hilang ditengah perjalanan hidupnya sebagai atlet yang berprestasi, karena merasa gagal dan mengalami frustrasi. Untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya frustasi ,sejak dini secara sistematis atlet perlu dilatih menghadapi tantangan-tantangan untuk diatasi. Keadaan penuh ketegangan atau stress menghadapi tantangan akan dapat menimbulkan proses adaptasi, yaitu penyesuaian diri sehingga akhirnya cukup mampu mengatasi kemungkinan frustrasi.
Seorang.atlet yang cukup mampu untuk mengatasi kemungkinan mengalami frustrasi, disebut juga atlet yang memiliki "a bight frustration tolerance" (Crotty, 1973). Menurut Saparinah dan Sumarno Markam (1982), atlet-atlet yang baru terjun dalam kompetisi, mempunyai "ambang stress" yang lebih rendah daripada yang sudah lama terjun dalam kompetisi. Karena yang sudah lama terjun dalam kompetisi sudah lebih terlatih dan sudah terbiasa dengan pengalaman yang penuh dengan stress di masa lalu.
Pernyataan Saparinah dan Sumarno Markam tersebut lebih menunjang perlunya pembinaan mental sejak dini; suasana kompetisi yang penuh stress dapat diciptakan sejak dini sehingga dapat meningkatkan kemampuan talon atlet mengatasi stress, dan sekaligus akan menghindarkan kemungkinan mengalami frustrasi.

Stres Dalam Olahraga (Gejala emosional)
Seperti halnya otot-otot kita mengalami ketegangan karena melakukan jaan fisik maka kitapun dapat mengalami ketegangan psikik, yang disebut "stress".Menurut Gauron (1984) stress seperti halnya ketegangan otot tidak dapat dielakan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita tidak dapat menghindarkan ketegangan psikik atau stress, beberapa ketegangan diperlukan dan beberapa ketegangan tidak diperlukan dalam penampilan dan melakukan tugas. Menurut Gauron kurangnya ketegangan atau "lack of tension" akan berakibat kita tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik. Untuk dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu dibutuhkan adanya ketegangan otot-otot, dimana ketegangan tersebut sangat diperlukan kemanfaatannya.
Setiap atlet yang bertanding dalam suatu per-isdwa olahraga merasakan adanya peningkatan ketegangan emosional untuk mengap.tisipasi situasi pertandingan yang dihadapi. Singer (1986) mengemukakan bahwa aktivitas penuh ketegangan tidak selalu jelek bagi seorang atlet. Ditinjau dari macam reaksi mental dan emosional, Singer menunjukkan dues gejala yang berhubungan dengan emosi, yaitu: tidak adanya kesiapan dan penuh kesiapan. Tidak adanya kesiapan atau "under readiness" ada hubungan dengan kurangnya motivasi, sedangkan "over readiness" atau penuh kesiapan berhubungan dengan kesiapan untuk menang atau penampilan buruk, ketakutan akan kalah, dsb-nya.
Stress atau ketegangan psikik bentulmya dapat beraneka macam. Menurut Gauron (1984) stress menunjukkan gejala tidak sama terhadap tantangan-tantangan Yang dihadapi, untuk dapat melakukan adaptasi. Menghadapi stress, badan manusia Mengadakan reaksi dengan cara-cara atau bentuk yang konsisten, ada pengerahan atau"arousal"system syarat otonom"tertentu.Jadi gejala stress menurut Gauron tersebut dapat lebih bervariasi dibanding "tension" atau ketegangan fisik yang dialami seseorang.
1).  Stress dan Pertandingan
Menurut Scanlan (1984) dalam tulisannya yang berjudul: "Competitive Stress and the Child Athlete" yang dimuat dalam buku "Psychological Foundations of Sport" mengemukakan bahwa "competitive stress" atau stress yang timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emosional yang negatif pada anak apabila rasa harga-dirinya merasa terancam. Hal seperti ini terjadi apabila atlet yunior menganggap pertandingan sebagai tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan penampilannya, dan dalam keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan akibat dari kekalahannya.
Stress selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan, sehingga kemungkinan tidak tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah suatu ketegangan emosional, yang akhir¬nya berpengaruh terhadap proses-proses psikologik maupun proses fisiologik.
Spielberger (1986) dalam tulisannya mengenai "Stress and Anxiety in Sports" dalam kumpulan karya ilmiah yang dihimpun oleh Morgan berjudul "Sport Psychology" (1986) menegaskan bahwa stress menunjukkan "psychobiological process" yang kornpieks, dan situasi seperti ini  mengandung nilai yang dapat merugikan, berbahaya, atau dapat menimbulkan frustrasi (stressor).
Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman bagi seorang atlet, tetapi hanya merupakan tantangan bagi atlet lain, dan mungkin bahkan tidak berarti apa-apa bagi atlet lain. Jadi dari pengalaman-pengalaman mengenai ancaman, ada hubungannya dengan keadaan mental atlet yang bersangkutan.
Penilaian adanya ancaman yang dihadapi clan adanya penilaian bahaya yanq dihadapi (masa depan) memberi andil penting terhadap timbulnya reaksi emosional serta tindakan yang akan diambil individu menghindari ancaman atau bahaya dihadapinya.
2). Arousal" dan "Inverted U"
Arousal" adalah hal yang tidak dapat dielakkan seperti timbulnya ketegangan fisik atau "tension" dan stress. Yang dimaksudkan dengan "arousal" adalah gejala yang menunjukkan adanya pengerahan peningkatan aktifitas psikis. Teriadinya gejala "arousal" biasanya berjalan sejajar dengan terjadinya peningkatan penampilan atlet; dengan kata lain ada korelasi positif antara "arousal" dengan penampilan atlet.
Menurut Cox (1985) "arousal" adalah suatu istilah netral yang menunjukkan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatetis. Ini menunjukkan intensitas peningkatan giologis, dan tidak dapat digunakan untuk menunjukkan keadaan emosional tertentu. Misalnya, baik orang dalam keadaan senang maupun dalam keadaan takut, ke duanya dapat menyebabkan "arousal" fisiologis; meskipun rasa takut adalah gejala, afek yang bersifat negatif, sedangkan senang atau gembira adalah gejala afek yang bersifat positif.
Mengenai hubungan antara "arousal" dan penampilan atlet yang digambarkan sebagai garis lurus (garis linear), seolah-olah ada korelasi positif antara "arousal" dengan peningkatan penampilan secara terus-menerus, mendapat tantangan antara lain dengan munculnya teori "Inverted U" atau teori U terbalik. Menurut teori "Inverted U" baik arousal" tingkat rendah maupun tingkat tinggi tidak akan menghasiikan penampilan yang setinggi-tingginya ("peak performance'). Tingkat "arousal" moderat (sedang) pads umumnya memberi kemungkinan lebih besar untuk pencapaian puncak penampilan atau "peak performance".
Richard H. Cox (1985) mengemukakan adanya dua teori dasar mengenai hubungan "arousal" dan penampilan; yang pertama adalah teori "Inverted U", dan yang ke dua adalah teori drive. Teori "drive" adalah teori multidimensional mengenai keterampilan dan proses belajar, sedangkan teori "Invel–ted U" meliputi berbagai sub- teori yang menjelaskan mengapa saling hubungan antara "arousal" dan penampilan ,untuk kurve persamaan kuadrat. Teori "drive" membentuk gars hubungan linear.
Dewasa ini para ahli cenderung lebih setuju dengan teori "Inverted U" diban ding teori "Drive" yang digambarkan dengan garis linear. Hubungan secara positif yang menunjukkan adanya korelasi positif, yaitu peningkatan "arousal' akan selalu diikuti peningkatan penampilan; sudah dapat dibayangkan bahwa pada suatu waktu tentu ada batasnya di mans garis hubungan korelasi positif akan berhenti.

Dampak Psikologik dari Anxiety
Menurut Joseph B. Oxendine (1980) yang menulis tentang "Emotional Arousal amt Motor Performance" dalam kumpulan karya ilmiah yang himpun Richard N. Suinn "Psychology in Sports", ada hubungan antara kecemasan dengan "emotional arousal". Apabila seseorang berbicara tentang "emotional arousal" maka ia akan menghubungkan dengan salah satu atau beberapa gejala negatif seperti: rasa takut, marah, rasa cemas, iri-hati, rasa malu, benci, jemu, dsb-nya. Gejala-gejala yang positif misalnya: gembira, sangat berminat, bahagia, cinta, dsb-nya. "Arousal" emosional yang negatif dapat mengganggu atau mengacaukan penampilan atlet. Mengenai hal ini juga pernah diteliti oleh pars ahli psikologi olahraga selama berlangsungnya Olympic Game 1968.
Ciri penderita gangguan kecemasan antara lain:
Ciri Fisik :
  • Gelisah
  • Berkeringat
  • Jantung berdegup kencang
  • Ada sensasi tali yang, mengikat erat pada kepala
  • Gemetar
  • Sering buang air kecil
Ciri Perilaku:
  • Perilaku menghindar
  • Perilaku dependen
Ciri Kognitif
  • Merasa tidak bisa mengendalikan semua
  • Merasa ingin melarikan diri dari tempat tersebut
  • Serasa ingin mati

 Upaya Pengendaliannya terhadap kecemasan dan stress dalam olahraga
Dalam upaya pengendalian kecemasan (anxiety) dan stress dalam olahraga penulis garis bawahi diantaranya: 1. Strategi Relaksasi, 2. Strategi kognitif, 3.teknik-teknik peredaan ketegangan dan mekanisme pertahanan diri.
1. Strategi Relaksasi
Keadaan relaks adalah keadaan saat seorang atlet berada dalam kondisi emosi yang tenang, yaitu tidak bergelora atau tegang. Keadaan tidak bergelora tidak berarti merendahnya gairah untuk ben-nain, melainkan dapat diatur atau dikendalikan pada titik atau daerah Z sesuai dengan hipotesis U-terbalik.
Untuk mencapai keadaan tersebut, diperlukan teknik-teknik tertentu melalui berbagai prosedur, baik aktif maupun pasif. prosedur aktif artinya kegiatan dilakukan sendiri secara aktif. Sementara itu, prosedur pasif berarti seseorang dapat mengendalikan munculnya emosi yang bergelora, atau dikenal sebagai latihan autogenik.
Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada awal tahun 1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan sepenuhnya relaks tidak akan memperhatikan respons emosional seperti terkejut terhadap suara keras. pada tahun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relaksasi progresif (Progressive Relaxation Training).
Dengan latihan relaksasi, Jacobsen percaya bahwa seseorang dapat diubah menjadi relaks pada otot-ototnya. Sekaligus juga, latihan ini mengurangi reaksi emosi yang bergelora, baik pada sistem saraf pusat maupun pada sistem saraf otonom. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat. Kira-kira pada waktu yang bersamaan, seorang dokter di Jerman bernama Johannes Schultz, memperkenalkan suatu teknik pasif agar seseorang mampu menguasai munculnya emosi yang bergelora. Schultz menyebut latihan tersebut sebagai Latihan Autogenik (Autogenic Training). Teknik ini dapat melatih seseorang untuk melakukan sugesti diri, agar is dapat mengubah sendiri kondisi kefaalan pada tubuhnya untuk mengendalikan munculnya emosi yang terlalu bergelora. Setelah diajarkan cara¬cara untuk melaksanakannya, seseorang tidak lagi tergantung pada ahli terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui teknik sugesti diri (auto-sugestion technique). Jadi, dengan melakukan autogenic training, seorang atlet dapat mengubah sendiri kondisi kefaalannya. Ia juga dapat mengatur dan mengendalikan pemunculan emosinya pada tingkatan yang dikehendaki.
Beberapa contoh dari latihan ini adalah latihan untuk merasakan berat dan panas pada anggota gerak, dengan ungkapan, "Saya rasakan lengan kanan saya berat", "saya rasakan lengan kanan saya panas dan relaks." Latihan pemapasan atau pengaturan aktivitas jantung dan paru¬paru, dengan contoh ungkapan, "Pemapasan saya lebih tenang dan denyut jantung saya berdetak lebih lambat". Serta latihan untuk merasakan panas atau dingin pada perut clan dahi. "Dahi dan perut saya lebih dingin." Jadi, latihan autogenik merupakan suatu latihan yang menitikberatkan munculnya kemampuan pengendalian gejolak emosi pada tubuh.
Kemudian, sekitar tahun 1950-an, seorang tokoh beraliran behavioristik, Joseph Wolpe, melakukan modifikasi dari teknik relaksasi milik Jacobsen. Wolpe menganggap bahwa teknik milik Jacobsen tersebut memakan waktu terlalu lama. Ia lalu merancang teknik yang lebih pendek, lebih sederhana, dan lebih mudah dilakukan. Teknik ini dikenal dengan narna latihan relaksasi progresif yang merupakan dasar untuk melakukan pengebalan sistematik (systematic desensitization). Teknik ini digunakan untuk menangani seseorang yang memiliki masalah ketegangan dan kecemasan. Mereka yang membutuhkan dapat diajarkan untuk melakukan teknik tersebut sendiri, dengan mempergunakan alat biofeedback (EMG).
Dalam perkembangannya, teknik-teknik yang digunakan, baik oleh Jacobsen maupun Wolpe, dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, kemudian bermunculan model-model relaksasi barn sebagaimana yang dikemukakan oleh Bernstein & Borkovec (1973) dan Bernstein & Geffen (1984). Dalam perkembangan selanjutnya, latihan relaksasi progresif digunakan sebagai teknik tersendiri, tidak lagi sebagai bagian dari pendekatan behavioristik. Awalnya, latihan relaksasi progresif ini digunakan oleh pasien penderita kecemasan atau ketegangan yang bersumber pada gejolak emosinya.Latihan relaksasi progresif juga dapat dilakukan melalui suatu alat yang dikenal dengan sebutan biofeedback atau EMG (elektromyografi). EMG memiliki fungsi mencatat atau merekam intensitas ketegangan otot¬otot seseorang, untuk kemudian ditampilkan dalam bentuk ukuran angka-angka, misalnya +3 atau +10. Dengan menggunakan alat tersebut, seseorang dapat memantau tingkatan ketegangan sebelum maupun sesudah dilakukan latihan. Dengan adanya kemampuan untuk memantau perubahan tingkatan ketegangan pada diri sendiri, maka ketegangan otot-otot dapat diatur sampai pada keadaan relaks yang dikehendaki. Arti praktisnya adalah, seseorang dapat mengatur ketegangan-ketegangan ototnya menjadi lebih relaks, sehingga gejolak emosinya pun menjadi lebih tenang. Apabila penggunaan biofeedback telah dilakukan berkali-kali, maka relaksasi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun, tanpa membutuhkan alat biofeed¬back lagi.
Oleh karma itu, para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari modifikasi agar latihan relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format yang lebih pendek dan praktis. Apabila seseorang telah beberapa kali berhasil dalam keadaan relaks, maka pengelompokan otot dapat diperbesar menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Lengan dan tangan bersama-sama.
2. Semua otot muka.
3. Dada, pundak, punggung bagian atas, perut.
4. Pinggul dan pangkal paha.
5. Kaki dan tapak kaki.
Contoh lain dari modifikasi tersebut adalah teknik pernapasan atau breathing technique. Teknik ini banyak dilakukan oleh para atlet karma dapat dilakukan di sembarang tempat, misalnya di pinggir arena pertandingan, saat menunggu waktu untuk bermain, demikian pula pada saat gejolak emosi sedang memuncak, misalnya pada malam sebelum pertandingan, atau beberapa jam sebelum pertandingan.
Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
1.      Meningkatnya pemahaman mengenai ketegangan otot. Artinya, ada pemahaman bahwa gejolak emosi berpengaruh terhadap ketegangan otot dan sebaliknya.
2.      Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan ketegangan otot.
3.      Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan kegiatan kognitif, yaitu meliputi kemampuan pemusatan perhatian terhadap suatu objek
4.      Meningkatnya kemampuan untuk melakukan kegiatan.
5.      Menurunnya ketegangan otot.
6.      Menurunnya gejolak emosi karena pengaruh perubahan kefaalan.
7.      Menurunnya tingkat kecemasan, serta emosi-emosi negatif lainnya.
8.      Menurunnya kekhawatiran dan ketakutan.
Selain latihan relaksasi progresif, dalam melakukan perubahan atau rnodifikasi suatu perilaku, dikenal pula suatu teknik yang disebut sebagai systematic desensitization atau teknik pengebalan sistematik. Jika terdapat suatu keadaan atau objek yang dipersepsikan tidak menguntungkan sehingga mempengaruhi gejolak emosi secara luar biasa clan ditampilkan dalam emosi tegang, maka tentu akan berakibat buruk terhadap penampilan. Seorang atlet dapat Baja merasakan ketakutan-ketakutan tertentu pada saat bertanding, seperti hal-hal yang berkaitan dengan lawan tandingnya, suhu arena atau cuaca pada umumnya, angin, sorakan penonton, atau penilaian dari tokoh-tokoh tertentu yang sedang menyaksikan.
Namun demikian, keadaan-keadaan seperti ini merupakan hal yang mutlak harus dihadapi. Oleh karena itu, seorang atlet harus mampu menghadapi keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan sebagaimana disebutkan di atas. Kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi tersebut merupakan keterampilan individual dan khusus yang diajarkan oleh pelatih atau psikolog olahraganya.
Teknik pengebalan sistematik (systematic desensitization) merupakan latihan bertahap untuk mengurangi kepekaan terhadap suatu rangsang, sehingga terbentuk habituasi atau pembiasaan. Suatu rangsang yang awalnya menimbulkan gejolak emosi yang sangat tinggi, melalui latihan sistematik tertentu, lambat-laun tidak lagi dipersepsikan negatif. Secara bertahap, akan terjadi pengurangan atau pengenduran reaksi emosi, sehingga gejolak emosi pun menjadi stabil. Jadi, sumber rangsang tidak diubah atau diganti, melainkan di dalam diri atlet terjadi perubahan secara sistematik Gejolak emosi yang pada awalnya sangat tinggi saat menghadapi suatu keadaan, lambat-laun menjadi berkurang. Ini merupakan prinsip sistematik desensitisasi, atau upaya untuk mengatur reaksi-reaksi emosi yang bergejolak dalam batas-batas proporsi yang wajar dan tidak merugikan.
Cara relaksasi lainnya adalah transcendental meditation atau meditasi transendental. Meditasi transendental merupakan teknik mental yang dapat dipraktekkan setiap pagi dan malam selama 15 sampai 20 menit, saat seseorang duduk nyaman dengan mata tertutup sambil memikirkan suatu 'mantera' tertentu. Setelah 20 menit, ketegangan tubuh akan mengenclor total dan orang yang bersangkutan akan mengalami kondisi yang segar dan dinamis, percaya diri, serta siap untuk beraksi. Meditasi transendental dilakukan seseorang dengan memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap suatu objek atau pikiran dan ke¬giatan tersebut ditahannya untuk beberapa waktu dalam posisi tubuh yang nyaman, tanpa terganggu atau teralih perhatian dan konsentrasinya. Apabila hal tersebut dapat dilakukan, maka akan diperoleh keadaan relaks. Selama meditasi, tubuh akan mencapai tahap sadar sepenuhnya na¬mun tanpa beban pikiran apa pun. Pada kondisi tersebut, seseorang akan siap menghadapi rangsang apa pun, serta siap memberikan respons yang sesuai dan optimal.
2. Strategi Kognitif
Strategi kognitif didasari oleh pendekatan kognitif yang menekankan bahwa pikiran atau proses berpikir merupakan sumber kekuatan yang ada dalam diri seseorang. Jadi, kesalahan, kegagalan, ataupun kekecewaan, tidak disebabkan oleh objek dari luar, namun pada hakikatnya bersumber pada inti pikiran atau proses berpikir seseorang.
Misalnya, seorang atlet bulutangkis tidak dapat menyalahkan shuttle¬cock karena berat atau kecepatannya berbeda dari biasanya, karena yang menentukan sesuai atau tidaknya caranya memukul dan kekuatan pukulan adalah proses berpikir atlet tersebut. Jadi, yang seharusnya diubah adalah pengendali perilaku atlet, dalam hal ini gerakan atau pukulannya, agar dapat menyesuaikan dengan keadaan khusus. Dari penjelasan ini, tampak bahwa proses kognitif merupakan sumber dari semua perilaku pada atlet.
Salah satu kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saga memusatkan perhatian terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi bermain saya." Kegiatan ini merupakan kegiatan menginstruksi diri sendiri (self-instruction), sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses berpikirnya.
Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya. Pergolakan tersebut berasal dari tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni trait anxiety.
3. Teknik-teknik Peredaan Ketegangan
Hanya mengetahui "apa" atau "the what"saja mengapa atlet tegang atau takut tanpa mengetahui "the how" atau "bagaimana" cara penyembuhannya tidaklah banyak man¬faatnya dan tidak akan menolong atlet. Oleh karena itu, pelatih sebaiknya juga mempersenjatai diri dengan keterampilan bagaimana cara meredakan ketegangan yang ada pada atlet. Ada beberapa teknik yang bisa membantu menu¬runkan atau mengurangi ketegangan atlet (desensitizatioll, techniques). Antara lain:
a.       Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu dengan mengu¬rangi arti pentingnya pertandingan dalam benak atlet, atau mengurangi ancaman hukuman kalau atlet gagal.
b.      Teknik Cratty. Dengan teknik ini, mula-mula disusun suatu urutan (hierarki) anxiety yang dialami atlet, dari Yang paling ditakuti sampai yang paling kurang ditakuti oleh atlet. Pada permulaan, atlet dihadapkan pada situ¬asi yang paling sedikit membangkitkan anxiety. Setelah atlet terbiasa dan tidak takut lagi dengan situasi terse-but, dia kemudian dilibatkan dalam situasi takut yang agak lebih berat. Demikian seterusnya.
c.       Teknik progressive muscle relaxation dari Jacobson, yaitu latihan memaksa otot-otot yang tegang dijadikan relaks.
d.      Teknik autogenic relaxation, yaitu toknik relaksasi Yang menekankan pada sugesti diri (self-suggestion).
e.       Latihan pernapasan dalam (deep breathing).
f.       Meditasi.
g.      Berpikir positif.
h.      Visualisasi.
i.        Latihan simulasi: pada waktu latihan, berlatihlah dengan menciptakan situasi seakan-akan sedang betul-betul bertanding, dan usahakan untuk tampil sebaik-baiknya. Lakukan latihan dengan intensitas yang tinggi seperti dalam pertandingan sebetulnya. Biarkan atlet mengalami stres fisik maupun mental.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan berkurang pada waktu menghadapi stres.

4. Mehanisme pertahanan diri
Anxiety, kekhawatiran, dan ketakutan yang berkecamuk dalam diri atlet adalah gejala yang umum dalam olahraga. Anxiety dan ketakutan adalah reaksi terhadap perasaan "khawatir akan terancam pribadinya". Karena anxiety yang dialami atlet adalah sesuatu keadaan yang sangat tidal, enak dan selamanya akan berkecamuk dalam kehidupan seorang atlet, maka dibutuhkan suatu mekanisme di dalam kepribadiannya untuk inenolongitya inengotasi atau membaskan dirinya dari anxiety tersebut. Mekanisme ini biasanya disebut security operation atau defense inechanisin. Jadi mekanisme ini berfungsi sebagai alat agar kepribadiannya tidak merasa terancam. Sering kali mekanisme ini bekerja demikian efektif sehingga atlet benar-benar terlindung dari perasaan cemas tersebut.
Tampaknya di semua cabang olahraga sering terjadi mekanisme pertahanan demikian, bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga oleh pelatih, tim manajer, pengurus dan lain-lain. Memang mungkin saja alasan yang dikemukakan atlet, pelatih, Tim Manajer, Pengurus, KONI, dan lain-lain memang betul karena lapangan licin, bola tidak bundar, banyak angin, penonton ribut. Akan tetapi kebanyakan alasannya tidak rasional dan hanya merupakan manifestasi dari perasaan kecewa karena mengalami kegagalan, serta kedok agar terhindar dari perasaan cemas dan takut akan dikritik, di-cemooh, dikecam oleh masyarakat, dan agar mereka tidak disalahkan oleh masyarakat atas kekalahan atau kegagalan mereka. Karena itu penyebab kegagalannya dilimpahkan kepada orang atau benda lain di luar dirinya.
Sebagai pelatih, kita harus mendidik dan melatih para atlet agar tidak membiasakan diri menggunakan defense inechanisin yang tidak wajar sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas. Sebab-sebab dari setiap kegagalan haruslah didiskusikan, dievaluasi, dianalisis secara rasional, intelektual dan inteligen. Pelatih harus mengajarkan dan mendidik atlet agar tidak meremehkan kegagalan, dan menilai setiap kegagalan dengan penuh pemahaman dan pengertian yang wajar. Dengan demikian dapatlah diharapkan pula bahwa maturitas mental para atlet sedikit demi sedikit dapat dikembangkan.




4 komentar: