Kecemasan
atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus”
yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekikMenurut
Freud (dalam Alwisol, 2005:28) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego
untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya
sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai.. Kecemasan berfungsi
sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada
kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya
itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Taylor (1995) mengatakan bahwa
kecemasan ialah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang
menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau
adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan
gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung
meningkat, dan lain-lain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang,
bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya). Perbedaan intensitas
kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman dan efekivitas dari
operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang.
Lebih
lanjut Saparintah dan Sumarno Markam (1982) membedakan beberapa jenis kecemasan
ditinjau dari bagaimana terjadinya kecemasan, yaitu:
1.
Kecemasan
yang “conditioned” (ada hubungan
dengan masa lalu),
2.
Kecemasan
karena kekurangan keterampilan (Instrumental
deficit),
3. Kecemasan
karena pernyataan diri yang menimbulkan kecemasan (anxiety-arousing self-statemens),
4.
Kecemasan
karena tindakan yang dilakukannya sendiri (tuntutan yang terlalu tinggi atas
diri sendiri)
5. Kecemasan
yang dikarenakan lingkungan fisik/social yang sangat gawat (“untenable”), misalnya orang tua atau pelatih kurang bijaksana
(terlalu kejam, dan lain-lain).
Kita semua tentu pernah merasa takut atau
cemas dalam berbagai situasi. Takut dimarahi, takut tidak lulus, takut tidak pass,
takut kalah, dan sebagainya. Demikian pula atlet. Dalam menghadapi
pertandingan, wajar saja kalau atlet menjadi tegang, bimbang, takut, cemas,
terutama kalau menghadapi lawan yang lebih kuat atau seimbang, dan kalau
situasinya mencekam. Ketakutan pada atlet pada umumnya dapat diklasifikasikan
dalam beberapa kategori (Cratty, 1973):
a.
Takut gagal dalam pertandingan,
b.
Takut akan akibat sosial atas mutu prestasi
mereka,
c.
Takut kalau cedera atau mencederai lawan,
d.
Takut fisiknya tidak akan mampu menyelesaikan
tugasnya atau pertandingan dengan
baik,
e.
(Dan percaya atau tidak), ada pula atlet yang
takut menang.
Hasil-hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa atlet paling takut pada akibat sosial yang akan mereka peroleh atas mutu prestasi mereka. Misalnya takut gagal memenuhi harapan pelatih, KONI, pemerintah, dikritik, dikecam masyarakat.
Hasil-hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa atlet paling takut pada akibat sosial yang akan mereka peroleh atas mutu prestasi mereka. Misalnya takut gagal memenuhi harapan pelatih, KONI, pemerintah, dikritik, dikecam masyarakat.
Dalam hal ini ada beberapa hal kecemasan yang
berhubungan dengan olahraga, diantaranya:
1. Kecemasan dan Motif Berprestasi
Suasana stress sering sekali membuat seseorang
hidup penuh gairah, karena dapat mengatasi suasana penuh stress dapat
menimbulkan kepuasan dan kebanggaan pada diri seseorang. Yang lebih penting dalam
pembinaan atlet, yaitu meningkatkan kemampuan mengatasi stress juga akan
menjauhkan kemungkinan atlet mengalami kecemasan.
Stress yang berlangsung terus-menerus dapat menimbuikan kecemasan, karena itu tingkat ketegangan yang dapat menimbulkan stress harus selalu dimonitor terus-menerus, disesuaikan dengan kemampuan atlet menghadapi suasana stress. Di samping itu tingkat berat-ringannya, tegangan yang dapat ditanggung oleh atlet, khususnya atlet yunior, juga harus selalu diperhatikan karena stress atau ketegangan psikis yang terlalu besar, yang tidak tertahankan oleh atlet, juga dapat menimbulkan kecemasan.
Stress yang berlangsung terus-menerus dapat menimbuikan kecemasan, karena itu tingkat ketegangan yang dapat menimbulkan stress harus selalu dimonitor terus-menerus, disesuaikan dengan kemampuan atlet menghadapi suasana stress. Di samping itu tingkat berat-ringannya, tegangan yang dapat ditanggung oleh atlet, khususnya atlet yunior, juga harus selalu diperhatikan karena stress atau ketegangan psikis yang terlalu besar, yang tidak tertahankan oleh atlet, juga dapat menimbulkan kecemasan.
Crafty (1973) membedakan kemungkinan timbulnya
kecemasan karena takut cidera atau "harm anxiety" atau kecemasan
karena takut gagal atau "failure anxiety". Penelitian lebih lanjut
mengenai kecemasan karena takut cidera dan kecemasan karena takut gagal, diakui
oleh Crotty belum dikembangkan lebih lanjut. Mengenai kecemasan karena takut
gagal di satu pihak dan harapan untuk sukses di lain pihak merupakan hal yang
cukup menarik untuk dijadikan bahan studi.
Selama berlangsungnya Olympic Games 1968 oleh
para ahli psikologi olahraga telah diadakan penelitian mengenai hubungan antara
kecemasan, motif berprestasi, dengan penampilan para atlet. Atlet-atlet sebagai
subyek penelitian dibagi dalam empat kelompok, yaitu yang memiliki kecemasan
tinggi atau "high anxiety" dan yang memiliki kecemasan rendah atau
"low anxiety"; kemudian tiap kelompok tersebut dibagi lagi atas dasar
(kriteria) mereka yang memiliki motif berprestasi tinggi atau "high needs
for achievem dan yang memiliki motif berprestasi rendah atau "low needs
for achievement.
2. Kecemasan dan Prustasi
Antara stress, "arousal", dan
kecemasan atau "anxiety", menurut Richard H. Cox ada keterkaitannya.
Kecemasan dapat didifinisikan sebagai perasaan subyektif berdasarkan ketakutan dan meningkatnya
"physiological arousal" (Levitt, 1980).
Mengenai hubungan stress dengan kecemasan, Soparinch dan Sumorno (1982) mengemukakan sebagai berikut: "Bila stress yang dialami seseorang terlalu besar baginya, hingga tidak dapat dilakukan tindakan untuk mengatasi atau bila stress yang dihadapi seseorang berlangsung terus-menerus, maka akan timbul kecemasan. Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan ternyata atlet tersebut mengalami kekalahan terus-menerus. Rasa cemas yang terjadi pada suatu keadaan tertentu disebut "State Anxiety". Menurut Spielberger (1985) "state anxiety" adalah keadaan emosional yang terjadi mendadak (pada waktu tertentu) yang ditandai dengan kecemasan, takut, dan ketegangan; biasanya diikuti dengan perasaan cemas yang mendalam disertai ketegangan dan "physiological arousal".
Mengenai hubungan stress dengan kecemasan, Soparinch dan Sumorno (1982) mengemukakan sebagai berikut: "Bila stress yang dialami seseorang terlalu besar baginya, hingga tidak dapat dilakukan tindakan untuk mengatasi atau bila stress yang dihadapi seseorang berlangsung terus-menerus, maka akan timbul kecemasan. Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan ternyata atlet tersebut mengalami kekalahan terus-menerus. Rasa cemas yang terjadi pada suatu keadaan tertentu disebut "State Anxiety". Menurut Spielberger (1985) "state anxiety" adalah keadaan emosional yang terjadi mendadak (pada waktu tertentu) yang ditandai dengan kecemasan, takut, dan ketegangan; biasanya diikuti dengan perasaan cemas yang mendalam disertai ketegangan dan "physiological arousal".
Di samping "state anxiety" juga
dikenal "trait anxiety", yaitu rasa cemas yang merupakan sifat-sifat
pribadi individu. Trait anxiety merupakan sifat pribadi yang lebih menetap
(seperti sifat pembawaan). Atlet yang memiliki "trait anxiety"
biasanya menunjukkan sifat mudah cemas menghadapi berbagai permasalahan,
khususnya pemasalahan yang berhubungan dengan keamanan pribadinya atau
"emotional security"-nya. Perasaan cemas pada dasamya terjadi karena
individu khawatir akan terganggu personal security"-nya, oleh karena itu
individu yang bersangkutan menunjukkan gejala cemas, yang mengandung rasa
takut.
"State anxiety" merupakan gejala
khusus bagaimana keadaan individu menghadapi situasi tertentu yang mengganggu
"personal security"-nya; "state anxiety" mempunyai rujukan
obyektif (objective reference). "Trait anxiety" sebagai sifat pribadi
individu lebih bersifat tetap dan akan tampak pada berbagai peristiwa atau
situasi di mana individu yang bersangkutan merasa terganggu "personal
security"-nya; "trait anxiety" mempunyai rujukan subyektif
(subjective reference).
Sehubungan dengan gejala "trait
anxiety" tersebut, Silva dan Weinberg (1984) 'mengemukakan adanya gejala
"competitive trait anxiety" (CTA) pada sementara atlet. Gejala CTA
tersebut pdalah gejaladi mana atlet menunjukkan rasa cemas dan takut hanya pada
waktu akan menghadapi kompetisi saja, dan sesudah selesai kompetisi atlet
tersebut tidak menunjukkan kecemasan atau menjadi normal kembali Robert J.
Sonstroem (1984) dalam tulisan yang berjudul: "An Overview of Anxiety in
Sport" yang dihimpun oleh Silva dan Weiberg dalam "Psychological
Foundations of Sport", mengemukakan penelitian Davidson dan Schewartz
(1976) yang menggunakan postulat (anggapan dasar) bahwa persepsi mengenai
kecemasan dapat dibedakan atas komponen kognitif dan somatik. Temuan Davidson
dan Schwartsz tersebut, merupakan temuan yang sangat berguna untuk dapat
diterapkan dalam menyusun program pembinaan mental atlet, sehubungan dengan
perbedaan.-perbedaan individual atlet yang menunjukkan gejala kecemasan.
3. Frustasi dalam Olahraga
3. Frustasi dalam Olahraga
Frustrasi timbal karena individu merasa gagal
tidak dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Setiap atlet ingin mendapat
kepuasan, ingin terpenuhi kebutuhannya, ingin mencapai harapan untuk menang dan
apabila hal tersebut tidak terwujud, maka dapat menimbulkan frustrasi.
Sebetulnya frustrasi bukan hanya disebabkan
karena kegagalan saja, tetapi terutama datang dari dalam diri atlet itu sendiri
yang diliputi perasaan gagal. Cukup banyak atlet yang gagal dalam suatu pertandingan
atau gagal mencapai prestasi sesuai apa yang diinginkan, tetapi tidak mengalami
frustrasi.
Dalam hubungan dengan kemungkinan terjadinya
frustrasi ini pelatih harus memasukkan program latihan untuk menyiapkan atlet
agar slap menghadapi kemungkinan mengalami kegagalan, disamping mendorong atlet
untuk berprestasi setinggi-tingginya. Kesiapan mental untuk menghadapi semua
kemungkinan, termasuk juga kemungkinan kalah dalam pertandingan merupakan tugas
pelatih untuk menyiapkan seorang calon juara.
Frustrasi dapat terjadi pada atlet yang
mempunyai sifat pesimis maupun atlet yang mempunyai sifat optimis. Pada atlet
yang mempunyai sifat pesimis, pada waktu ia menghadapi kenyataan kurang
berhasil atau belum berhasil, mungkin atlet tersebut sudah merasa gagal lebih
dahulu. Atlet yang memiliki sifat-sifat pribadi pesimis mudah mengalami
frustrasi, karena dalam mengalami kegagalan sedikit saja, dianggapnya sebagai
kegagalan yang akan dialami seterusnya.
Seorang atlet yang mempunyai sifat optimis
adalah baik, karena tanpa memiliki sifat optimis atlet tidak akan maju; Haman
tertalu optimis juga kurang menountungkan. Atlet yang terlalu optimis adalah
atlet yang mempersepsikan diri memiliki kemam-. puan lebih dari keadaan
senyatanya, yaitu lebih dari kemampuan yang dimiliki sebenar nya. Hal semacam
ini terjadi pada atlet yang "over-confidence". Atlet yang terlalu
optimis, pada waktu mengalami kegagalan, mudah kecewa, kehilangan keseimbangan
ernosinya. Sudah barang tentu hal semacam ini kurang menguntungkan, karena
tidak stabiInya emosi akan mengganggu stabilitas psikisnya secara keseluruhan;
ini berakibat konsentrasinya terganggu, reaksinya berkurang, koordinasi geraknya
juga terganggu, dsb-nya.
Pada dasarnya frustrasi lebih mudah terjadi
pada atlet yang belum memiliki kematangan emosional, hal ini juga berkaitan
dengan sifat-sifat kepribadian atlet yang bersangkutan. Kepercayaan pada diri
sendiri merupakan hal yang perlu sekali ditanamkan sejak dini, karena percaya
diri merupakan salah satu hal yang membentuk kemampuan menghindarkar, diri dart
kemungkinan terjadinya frustrasi. Menumbuhkan rasa percaya diri merupakan salah
satu program latihan mental yang perlu diperhatikan para pelatih.
Tidak sedikit atlet berbakat yang dapat berprestasi tinggi dan dapat menjadi juara, akhirnya gagal dan hilang ditengah perjalanan hidupnya sebagai atlet yang berprestasi, karena merasa gagal dan mengalami frustrasi. Untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya frustasi ,sejak dini secara sistematis atlet perlu dilatih menghadapi tantangan-tantangan untuk diatasi. Keadaan penuh ketegangan atau stress menghadapi tantangan akan dapat menimbulkan proses adaptasi, yaitu penyesuaian diri sehingga akhirnya cukup mampu mengatasi kemungkinan frustrasi.
Tidak sedikit atlet berbakat yang dapat berprestasi tinggi dan dapat menjadi juara, akhirnya gagal dan hilang ditengah perjalanan hidupnya sebagai atlet yang berprestasi, karena merasa gagal dan mengalami frustrasi. Untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya frustasi ,sejak dini secara sistematis atlet perlu dilatih menghadapi tantangan-tantangan untuk diatasi. Keadaan penuh ketegangan atau stress menghadapi tantangan akan dapat menimbulkan proses adaptasi, yaitu penyesuaian diri sehingga akhirnya cukup mampu mengatasi kemungkinan frustrasi.
Seorang.atlet yang cukup mampu untuk mengatasi
kemungkinan mengalami frustrasi, disebut juga atlet yang memiliki "a bight
frustration tolerance" (Crotty, 1973). Menurut Saparinah dan Sumarno Markam
(1982), atlet-atlet yang baru terjun dalam kompetisi, mempunyai "ambang
stress" yang lebih rendah daripada yang sudah lama terjun dalam kompetisi.
Karena yang sudah lama terjun dalam kompetisi sudah lebih terlatih dan sudah
terbiasa dengan pengalaman yang penuh dengan stress di masa lalu.
Pernyataan Saparinah dan Sumarno Markam tersebut lebih menunjang perlunya pembinaan mental sejak dini; suasana kompetisi yang penuh stress dapat diciptakan sejak dini sehingga dapat meningkatkan kemampuan talon atlet mengatasi stress, dan sekaligus akan menghindarkan kemungkinan mengalami frustrasi.
Pernyataan Saparinah dan Sumarno Markam tersebut lebih menunjang perlunya pembinaan mental sejak dini; suasana kompetisi yang penuh stress dapat diciptakan sejak dini sehingga dapat meningkatkan kemampuan talon atlet mengatasi stress, dan sekaligus akan menghindarkan kemungkinan mengalami frustrasi.
A. Dampak Psikologik dari Anxiety
Menurut Joseph B. Oxendine (1980) yang menulis
tentang "Emotional Arousal amt Motor Performance" dalam kumpulan
karya ilmiah yang himpun Richard N. Suinn "Psychology in Sports", ada
hubungan antara kecemasan dengan "emotional arousal". Apabila seseorang
berbicara tentang "emotional arousal" maka ia akan menghubungkan
dengan salah satu atau beberapa gejala negatif seperti: rasa takut, marah, rasa
cemas, iri-hati, rasa malu, benci, jemu, dsb-nya. Gejala-gejala yang positif
misalnya: gembira, sangat berminat, bahagia, cinta, dsb-nya. "Arousal"
emosional yang negatif dapat mengganggu atau mengacaukan penampilan atlet.
Mengenai hal ini juga pernah diteliti oleh pars ahli psikologi olahraga selama
berlangsungnya Olympic Game 1968.
Ciri penderita
gangguan kecemasan antara lain:
Ciri Fisik :
- Gelisah
- Berkeringat
- Jantung berdegup kencang
- Ada sensasi tali yang, mengikat erat pada kepala
- Gemetar
- Sering buang air kecil
Ciri Perilaku:
- Perilaku menghindar
- Perilaku dependen
Ciri Kognitif
- Merasa tidak bisa mengendalikan semua
- Merasa ingin melarikan diri dari tempat tersebut
- Serasa ingin mati
B. Upaya
Pengendaliannya terhadap kecemasan dan stress dalam olahraga
Dalam upaya pengendalian kecemasan (anxiety)
dan stress dalam olahraga penulis garis bawahi diantaranya: 1. Strategi
Relaksasi, 2. Strategi kognitif, 3.teknik-teknik peredaan ketegangan dan
mekanisme pertahanan diri.
1. Strategi Relaksasi
Keadaan relaks adalah keadaan saat seorang
atlet berada dalam kondisi emosi yang tenang, yaitu tidak bergelora atau
tegang. Keadaan tidak bergelora tidak berarti merendahnya gairah untuk
ben-nain, melainkan dapat diatur atau dikendalikan pada titik atau daerah Z
sesuai dengan hipotesis U-terbalik.
Untuk mencapai keadaan tersebut, diperlukan
teknik-teknik tertentu melalui berbagai prosedur, baik aktif maupun pasif.
prosedur aktif artinya kegiatan dilakukan sendiri secara aktif. Sementara itu,
prosedur pasif berarti seseorang dapat mengendalikan munculnya emosi yang
bergelora, atau dikenal sebagai latihan autogenik.
Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada awal tahun 1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan sepenuhnya relaks tidak akan memperhatikan respons emosional seperti terkejut terhadap suara keras. pada tahun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relaksasi progresif (Progressive Relaxation Training).
Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada awal tahun 1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan sepenuhnya relaks tidak akan memperhatikan respons emosional seperti terkejut terhadap suara keras. pada tahun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relaksasi progresif (Progressive Relaxation Training).
Dengan latihan relaksasi, Jacobsen percaya
bahwa seseorang dapat diubah menjadi relaks pada otot-ototnya. Sekaligus juga,
latihan ini mengurangi reaksi emosi yang bergelora, baik pada sistem saraf
pusat maupun pada sistem saraf otonom. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan
segar dan sehat. Kira-kira pada waktu yang bersamaan, seorang dokter di Jerman
bernama Johannes Schultz, memperkenalkan suatu teknik pasif agar seseorang
mampu menguasai munculnya emosi yang bergelora. Schultz menyebut latihan
tersebut sebagai Latihan Autogenik (Autogenic Training). Teknik ini dapat
melatih seseorang untuk melakukan sugesti diri, agar is dapat mengubah sendiri
kondisi kefaalan pada tubuhnya untuk mengendalikan munculnya emosi yang terlalu
bergelora. Setelah diajarkan cara¬cara untuk melaksanakannya, seseorang tidak
lagi tergantung pada ahli terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri
melalui teknik sugesti diri (auto-sugestion technique). Jadi, dengan melakukan
autogenic training, seorang atlet dapat mengubah sendiri kondisi kefaalannya.
Ia juga dapat mengatur dan mengendalikan pemunculan emosinya pada tingkatan
yang dikehendaki.
Beberapa contoh dari latihan ini adalah
latihan untuk merasakan berat dan panas pada anggota gerak, dengan ungkapan,
"Saya rasakan lengan kanan saya berat", "saya rasakan lengan
kanan saya panas dan relaks." Latihan pemapasan atau pengaturan aktivitas
jantung dan paru¬paru, dengan contoh ungkapan, "Pemapasan saya lebih
tenang dan denyut jantung saya berdetak lebih lambat". Serta latihan untuk
merasakan panas atau dingin pada perut clan dahi. "Dahi dan perut saya
lebih dingin." Jadi, latihan autogenik merupakan suatu latihan yang
menitikberatkan munculnya kemampuan pengendalian gejolak emosi pada tubuh.
Kemudian, sekitar tahun 1950-an, seorang tokoh
beraliran behavioristik, Joseph Wolpe, melakukan modifikasi dari teknik
relaksasi milik Jacobsen. Wolpe menganggap bahwa teknik milik Jacobsen tersebut
memakan waktu terlalu lama. Ia lalu merancang teknik yang lebih pendek, lebih
sederhana, dan lebih mudah dilakukan. Teknik ini dikenal dengan narna latihan
relaksasi progresif yang merupakan dasar untuk melakukan pengebalan sistematik
(systematic desensitization). Teknik ini digunakan untuk menangani seseorang
yang memiliki masalah ketegangan dan kecemasan. Mereka yang membutuhkan dapat
diajarkan untuk melakukan teknik tersebut sendiri, dengan mempergunakan alat
biofeedback (EMG).
Dalam perkembangannya, teknik-teknik yang
digunakan, baik oleh Jacobsen maupun Wolpe, dianggap kurang efisien. Oleh
karena itu, kemudian bermunculan model-model relaksasi barn sebagaimana yang dikemukakan
oleh Bernstein & Borkovec (1973) dan Bernstein & Geffen (1984). Dalam
perkembangan selanjutnya, latihan relaksasi progresif digunakan sebagai teknik
tersendiri, tidak lagi sebagai bagian dari pendekatan behavioristik. Awalnya,
latihan relaksasi progresif ini digunakan oleh pasien penderita kecemasan atau
ketegangan yang bersumber pada gejolak emosinya.Latihan relaksasi progresif
juga dapat dilakukan melalui suatu alat yang dikenal dengan sebutan biofeedback
atau EMG (elektromyografi). EMG memiliki fungsi mencatat atau merekam
intensitas ketegangan otot¬otot seseorang, untuk kemudian ditampilkan dalam
bentuk ukuran angka-angka, misalnya +3 atau +10. Dengan menggunakan alat
tersebut, seseorang dapat memantau tingkatan ketegangan sebelum maupun sesudah
dilakukan latihan. Dengan adanya kemampuan untuk memantau perubahan tingkatan
ketegangan pada diri sendiri, maka ketegangan otot-otot dapat diatur sampai
pada keadaan relaks yang dikehendaki. Arti praktisnya adalah, seseorang dapat
mengatur ketegangan-ketegangan ototnya menjadi lebih relaks, sehingga gejolak
emosinya pun menjadi lebih tenang. Apabila penggunaan biofeedback telah
dilakukan berkali-kali, maka relaksasi dapat dilakukan kapan pun dan di mana
pun, tanpa membutuhkan alat biofeed¬back lagi.
Oleh karma itu, para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari modifikasi agar latihan relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format yang lebih pendek dan praktis. Apabila seseorang telah beberapa kali berhasil dalam keadaan relaks, maka pengelompokan otot dapat diperbesar menjadi lima kelompok, yaitu:
Oleh karma itu, para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari modifikasi agar latihan relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format yang lebih pendek dan praktis. Apabila seseorang telah beberapa kali berhasil dalam keadaan relaks, maka pengelompokan otot dapat diperbesar menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Lengan dan tangan bersama-sama.
2. Semua otot muka.
3. Dada, pundak, punggung bagian atas, perut.
4. Pinggul dan pangkal paha.
5. Kaki dan tapak kaki.
Contoh lain dari modifikasi tersebut adalah teknik
pernapasan atau breathing technique. Teknik ini banyak dilakukan oleh para
atlet karma dapat dilakukan di sembarang tempat, misalnya di pinggir arena
pertandingan, saat menunggu waktu untuk bermain, demikian pula pada saat
gejolak emosi sedang memuncak, misalnya pada malam sebelum pertandingan, atau
beberapa jam sebelum pertandingan.
Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
1.
Meningkatnya pemahaman mengenai ketegangan
otot. Artinya, ada pemahaman bahwa gejolak emosi berpengaruh terhadap ketegangan
otot dan sebaliknya.
2.
Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan
ketegangan otot.
3.
Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan
kegiatan kognitif, yaitu meliputi kemampuan pemusatan perhatian terhadap suatu
objek
4.
Meningkatnya kemampuan untuk melakukan
kegiatan.
5.
Menurunnya ketegangan otot.
6.
Menurunnya gejolak emosi karena pengaruh
perubahan kefaalan.
7.
Menurunnya tingkat kecemasan, serta emosi-emosi
negatif lainnya.
8.
Menurunnya kekhawatiran dan ketakutan.
Selain latihan relaksasi progresif, dalam
melakukan perubahan atau rnodifikasi suatu perilaku, dikenal pula suatu teknik
yang disebut sebagai systematic desensitization atau teknik pengebalan
sistematik. Jika terdapat suatu keadaan atau objek yang dipersepsikan tidak
menguntungkan sehingga mempengaruhi gejolak emosi secara luar biasa clan
ditampilkan dalam emosi tegang, maka tentu akan berakibat buruk terhadap
penampilan. Seorang atlet dapat Baja merasakan ketakutan-ketakutan tertentu
pada saat bertanding, seperti hal-hal yang berkaitan dengan lawan tandingnya,
suhu arena atau cuaca pada umumnya, angin, sorakan penonton, atau penilaian
dari tokoh-tokoh tertentu yang sedang menyaksikan.
Namun demikian, keadaan-keadaan seperti ini
merupakan hal yang mutlak harus dihadapi. Oleh karena itu, seorang atlet harus
mampu menghadapi keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan sebagaimana disebutkan
di atas. Kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi tersebut merupakan
keterampilan individual dan khusus yang diajarkan oleh pelatih atau psikolog
olahraganya.
Teknik pengebalan sistematik (systematic
desensitization) merupakan latihan bertahap untuk mengurangi kepekaan terhadap
suatu rangsang, sehingga terbentuk habituasi atau pembiasaan. Suatu rangsang
yang awalnya menimbulkan gejolak emosi yang sangat tinggi, melalui latihan
sistematik tertentu, lambat-laun tidak lagi dipersepsikan negatif. Secara
bertahap, akan terjadi pengurangan atau pengenduran reaksi emosi, sehingga gejolak
emosi pun menjadi stabil. Jadi, sumber rangsang tidak diubah atau diganti,
melainkan di dalam diri atlet terjadi perubahan secara sistematik Gejolak emosi
yang pada awalnya sangat tinggi saat menghadapi suatu keadaan, lambat-laun menjadi
berkurang. Ini merupakan prinsip sistematik desensitisasi, atau upaya untuk
mengatur reaksi-reaksi emosi yang bergejolak dalam batas-batas proporsi yang
wajar dan tidak merugikan.
Cara relaksasi lainnya adalah transcendental
meditation atau meditasi transendental. Meditasi transendental merupakan teknik
mental yang dapat dipraktekkan setiap pagi dan malam selama 15 sampai 20 menit,
saat seseorang duduk nyaman dengan mata tertutup sambil memikirkan suatu
'mantera' tertentu. Setelah 20 menit, ketegangan tubuh akan mengenclor total
dan orang yang bersangkutan akan mengalami kondisi yang segar dan dinamis,
percaya diri, serta siap untuk beraksi. Meditasi transendental dilakukan
seseorang dengan memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap suatu objek
atau pikiran dan ke¬giatan tersebut ditahannya untuk beberapa waktu dalam
posisi tubuh yang nyaman, tanpa terganggu atau teralih perhatian dan
konsentrasinya. Apabila hal tersebut dapat dilakukan, maka akan diperoleh
keadaan relaks. Selama meditasi, tubuh akan mencapai tahap sadar sepenuhnya
na¬mun tanpa beban pikiran apa pun. Pada kondisi tersebut, seseorang akan siap
menghadapi rangsang apa pun, serta siap memberikan respons yang sesuai dan
optimal.
2. Strategi Kognitif
Strategi kognitif didasari oleh pendekatan
kognitif yang menekankan bahwa pikiran atau proses berpikir merupakan sumber
kekuatan yang ada dalam diri seseorang. Jadi, kesalahan, kegagalan, ataupun
kekecewaan, tidak disebabkan oleh objek dari luar, namun pada hakikatnya
bersumber pada inti pikiran atau proses berpikir seseorang.
Misalnya, seorang atlet bulutangkis tidak dapat menyalahkan shuttle¬cock karena berat atau kecepatannya berbeda dari biasanya, karena yang menentukan sesuai atau tidaknya caranya memukul dan kekuatan pukulan adalah proses berpikir atlet tersebut. Jadi, yang seharusnya diubah adalah pengendali perilaku atlet, dalam hal ini gerakan atau pukulannya, agar dapat menyesuaikan dengan keadaan khusus. Dari penjelasan ini, tampak bahwa proses kognitif merupakan sumber dari semua perilaku pada atlet.
Salah satu kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saga memusatkan perhatian terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi bermain saya." Kegiatan ini merupakan kegiatan menginstruksi diri sendiri (self-instruction), sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses berpikirnya.
Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya. Pergolakan tersebut berasal dari tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni trait anxiety.
Misalnya, seorang atlet bulutangkis tidak dapat menyalahkan shuttle¬cock karena berat atau kecepatannya berbeda dari biasanya, karena yang menentukan sesuai atau tidaknya caranya memukul dan kekuatan pukulan adalah proses berpikir atlet tersebut. Jadi, yang seharusnya diubah adalah pengendali perilaku atlet, dalam hal ini gerakan atau pukulannya, agar dapat menyesuaikan dengan keadaan khusus. Dari penjelasan ini, tampak bahwa proses kognitif merupakan sumber dari semua perilaku pada atlet.
Salah satu kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saga memusatkan perhatian terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi bermain saya." Kegiatan ini merupakan kegiatan menginstruksi diri sendiri (self-instruction), sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses berpikirnya.
Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya. Pergolakan tersebut berasal dari tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni trait anxiety.
3. Teknik-teknik
Peredaan Ketegangan
Hanya mengetahui "apa" atau
"the what"saja mengapa atlet tegang atau takut tanpa mengetahui
"the how" atau "bagaimana" cara penyembuhannya tidaklah
banyak man¬faatnya dan tidak akan menolong atlet. Oleh karena itu, pelatih
sebaiknya juga mempersenjatai diri dengan keterampilan bagaimana cara meredakan
ketegangan yang ada pada atlet. Ada beberapa teknik yang bisa membantu
menu¬runkan atau mengurangi ketegangan atlet (desensitizatioll, techniques).
Antara lain:
a.
Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu dengan
mengu¬rangi arti pentingnya pertandingan dalam benak atlet, atau mengurangi
ancaman hukuman kalau atlet gagal.
b. Teknik Cratty. Dengan teknik ini, mula-mula
disusun suatu urutan (hierarki) anxiety yang dialami atlet, dari Yang paling
ditakuti sampai yang paling kurang ditakuti oleh atlet. Pada permulaan, atlet
dihadapkan pada situ¬asi yang paling sedikit membangkitkan anxiety. Setelah
atlet terbiasa dan tidak takut lagi dengan situasi terse-but, dia kemudian
dilibatkan dalam situasi takut yang agak lebih berat. Demikian seterusnya.
c.
Teknik progressive muscle relaxation dari
Jacobson, yaitu latihan memaksa otot-otot yang tegang dijadikan relaks.
d.
Teknik autogenic relaxation, yaitu toknik
relaksasi Yang menekankan pada sugesti diri (self-suggestion).
e.
Latihan pernapasan dalam (deep breathing).
f.
Meditasi.
g.
Berpikir positif.
h.
Visualisasi.
i.
Latihan simulasi: pada waktu latihan,
berlatihlah dengan menciptakan situasi seakan-akan sedang betul-betul
bertanding, dan usahakan untuk tampil sebaik-baiknya. Lakukan latihan dengan
intensitas yang tinggi seperti dalam pertandingan sebetulnya. Biarkan atlet
mengalami stres fisik maupun mental.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan berkurang pada waktu menghadapi stres.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan berkurang pada waktu menghadapi stres.
4. Mehanisme
pertahanan diri
Anxiety, kekhawatiran, dan ketakutan yang
berkecamuk dalam diri atlet adalah gejala yang umum dalam olahraga. Anxiety dan
ketakutan adalah reaksi terhadap perasaan "khawatir akan terancam
pribadinya". Karena anxiety yang dialami atlet adalah sesuatu keadaan yang
sangat tidal, enak dan selamanya akan berkecamuk dalam kehidupan seorang atlet,
maka dibutuhkan suatu mekanisme di dalam kepribadiannya untuk inenolongitya
inengotasi atau membaskan dirinya dari anxiety tersebut. Mekanisme ini biasanya
disebut security operation atau defense inechanisin. Jadi mekanisme ini
berfungsi sebagai alat agar kepribadiannya tidak merasa terancam. Sering kali
mekanisme ini bekerja demikian efektif sehingga atlet benar-benar terlindung
dari perasaan cemas tersebut.
Tampaknya di semua cabang olahraga sering
terjadi mekanisme pertahanan demikian, bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga
oleh pelatih, tim manajer, pengurus dan lain-lain. Memang mungkin saja alasan
yang dikemukakan atlet, pelatih, Tim Manajer, Pengurus, KONI, dan lain-lain memang
betul karena lapangan licin, bola tidak bundar, banyak angin, penonton ribut.
Akan tetapi kebanyakan alasannya tidak rasional dan hanya merupakan manifestasi
dari perasaan kecewa karena mengalami kegagalan, serta kedok agar terhindar
dari perasaan cemas dan takut akan dikritik, di-cemooh, dikecam oleh
masyarakat, dan agar mereka tidak disalahkan oleh masyarakat atas kekalahan
atau kegagalan mereka. Karena itu penyebab kegagalannya dilimpahkan kepada
orang atau benda lain di luar dirinya.
Sebagai pelatih, kita harus mendidik dan
melatih para atlet agar tidak membiasakan diri menggunakan defense inechanisin
yang tidak wajar sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas. Sebab-sebab dari
setiap kegagalan haruslah didiskusikan, dievaluasi, dianalisis secara rasional,
intelektual dan inteligen. Pelatih harus mengajarkan dan mendidik atlet agar
tidak meremehkan kegagalan, dan menilai setiap kegagalan dengan penuh pemahaman
dan pengertian yang wajar. Dengan demikian dapatlah diharapkan pula bahwa
maturitas mental para atlet sedikit demi sedikit dapat dikembangkan.
Agen Judi Online
BalasHapusDaftar Agen Bola Online
Agen Bola Terbaik
Agen Judi Bola
Agen Judi Kasino
Berita Bola
Berita Ac Milan
Berita Bola Terupdate
Berita Terkini
Berita Terupdate
Agen Judi Bola Casino
BalasHapusBandar Bola Terpercaya
Agen Bola Terbaik
Agen Judi Bola
Agen Judi Kasino
Bola Dikritik Guardiola, Ini Respon Piala Liga.
Belum Semusim, Danilo Sudah Rindukan Real Madrid.
Manchester City Tim Favorit Juara EPL Striker Timnas Italia Ini.
Pak Anies, Ini Foto Terbaru Kondisi Tanah Abang...
Gubernur Anies Siapkan Kejutan untuk Alexis.
Agen Judi Online
BalasHapusDaftar Agen Bola Online
Agen Bola Terbaik
Agen Judi Bola
Agen Judi Kasino
Zidane Menyiapkan Diri untuk Tinggalkan Real Madrid.
Zidane: La Liga Lebih Sulit dari Liga Champions.
Belum Semusim, Danilo Sudah Rindukan Real Madrid.
Puluhan Kuda Nil Keroyok Seekor Buaya di Taman Nasional Serengeti.
Kalau Ronaldo Bisa Enam Bahasa dan Mkhitaryan Tujuh, bagaimana Messi?