Sabtu, 22 Desember 2012

sepuluh film terbaik Indonesia

Share this history on :
Sepanjang 2012, industri perfilman nasional diisi beragam genre mulai dari action, drama, horor, hingga komedi. saya dapat ari detik.com memilih 10 film terbaik yang diputar tahun ini. Apa saja?


1. The Raid
Sebelum rilis di bioskop Tanah Air pada 21 Maret lalu, film yang disutradarai Gareth Evans ini sudah terdengar gaungnya di berbagai festival film internasional. 'The Raid' mendapatkan ulasan bagus kritikus dan menerima The Cadillac People's Choice Midnight Madness Award saat diputar di Toronto International Film Festival 2011.

'The Raid' memiliki cerita sederhana tentang penyerbuan tim elit ke sebuah gedung apartemen terlantar yang menjadi tempat perlindungan gangster paling berbahaya. Yang menjadi daya tarik film ini adalah adegan pertarungan jarak dekat dari para bintang-bintangnya seperti Iko Uwais, Joe Taslim, Yayan Ruhiyan dan beberapa pemeran pendukung yang merupakan petarung profesional.




2. Demi Ucok
'Demi Ucok' adalah film karya produser, sutradara dan penulis skenario Sammaria Simanjuntak. Nama ini sebelumnya pernah membuat kejutan yang sama, ketika bersama dengan Sally Anom Sari memenangkan piala FFI 2009 untuk skenario asli terbaik, lewat film 'Cin(t)a' yang juga diproduserinya.

Kali ini, Sammaria kembali membiayai sendiri filmnya lewat rumah produksi Kepompong Gendut. Seunik nama PH tersebut, ia pun menggelar acara unik untuk peluncuran 'Demi Ucok'. Film tersebut diputar perdana lewat sebuah acara layar tancap di tengah perkampungan padat di Bandung.

'Demi Ucok' adalah sebuah drama komedi tentang pencarian jodoh berlatar budaya Batak. Ucok adalah simbol pria idaman bagi para orangtua Batak yang ingin memilihkan jodoh untuk putrinya. Film ini dibintangi oleh Geraldine Sianturi, Saira Jihan, Sunny Soon, dan Mak Gondut yang memerankan dirinya sendiri dengan sangat kocak.


3. Lovely Man
Film drama yang dibalut dengan isu transgender ini dikemas apik dan sederhana dengan budget rata-rata oleh Teddy Soeriaatmadja selaku sutradara. Kisah yang diuraikan adalah hubungan antara ayah dan anak yang diperankan oleh Donny Damara yang berperan sebagai Saiful dan Raihaanun sebagai Cahaya.

Cerita bergulir melalui sosok Saiful yang seorang waria, tiba-tiba kebingungan manakala Cahaya, anak yang sudah 15 tahun tak ia temui, datang dari kampung hanya untuk ingin bertemu dengan dirinya.

Teddy mengaku, ide awal filmnya tersebut sudah muncul sejak tahun 2003, ketika ia sempat melihat sosok waria dan wanita berjilbab tengah ngobrol saat ia menunggu kemacetan di dalam mobil. "Saya penasaran, apa yang diobrolin sama waria dan wanita berkerudung yang waktu tahun 2003 itu saya lihat di pinggir jalan," imbuhnya.






4. Rumah di Seribu Ombak
'Rumah di Seribu Ombak' berkisah tentang persabatan yang melintasi perbedaan, yang kemudian berkembang menjadi cinta dan berakhir duka. Dengan latar panorama alam Singaraja, Bali yang eksotik, dikemas dalam gambar-gambar yang kelam-temaram, film ini menghadirkan suasana ngelangut yang panjang, dan meninggalkan sebuah lobang yang menganga di dada setelah menontonnya.

Dikisahkan dari sudut pandang tokoh Samihi setelah dewasa (diperankan Andre Julian), 'Rumah di Seribu Ombak' hadir sebagai sebuah kenangan. Semuanya berawal dari pertemuan antara Samihi belia (Risjad Aden) dengan Wayan Manik alias Yanik (Dedey Rusma). Samihi yang merupakan seorang muslim pendatang di kampung itu kerap 'dikerjain' oleh anak-anak setempat. Suatu kali, Yanik melihat dan menolongnya, lalu mereka pun berteman.

Film ini memberikan kejutan cerita pada setiap bagiannya, layaknya sebuah film misteri yang memaku kita ditempat duduk tanpa berani menarik napas.
 

5. Rayya, Cahaya Diatas Cahaya
Rayya adalah seorang artis besar dengan beragam talenta. Dunia glamor yang diimpikan banyak orang sudah dalam genggaman. Keangkuhan-keangkuhan yang biasa datang dengan kesuksesan pun direngkuhnya. Tapi, keberhasilan melemahkannya Rayya. Hidupnya pun terasa hampa.

Film yang disutradarai oleh Viva Westi itu menampilkan Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo sebagai bintang utamanya. Skenario film tersebut ditulis Emha Ainun Nadjib yang terkenal dengan karya-karya puisi dan sajaknya yang puitis.

6. Test Pack
Rahmat (Reza Hahadia) dan Tata (Acha Septriasa) adalah pasangan muda yang mapan dan harmonis sampai fakta bahwa salah satu di antara mereka ternyata mandul membuat rumah tangga mereka terkoyak. Di sisi lain, ada pasangan Shinta (Renata Kusmanto) dan Heru (Dwi Sasono) yang juga mengalami masalah sama, namun lebih tragis: sang mertua sampai memisahkan mereka, sehingga Shinta harus pergi.

Film yang bagus tak hanya mensyaratkan cerita yang kuat, tapi juga mesti didukung akting yang ciamik dari para pemainnya. Film 'Test Pack' yang diangkat dari novel berjudul sama karya Ninit Yunita ini dari segi cerita sebenarnya biasa-biasa saja. Tapi, sutradara Monty Tiwa berhasil mengarahkan segenap pemerannya untuk memberikan penampilan terbaik mereka.

Tentu saja, semua itu didukung oleh skenario --ditulis oleh sang suami penulis novelnya sendiri, Adhitya Mulya-- yang matang untuk dituangkan ke dalam bahasa gambar. Jadilah, 'Test Pack' sebuah drama rumah tangga yang diolah secara dewasa. Dengan bumbu komedi yang kadang terasa berlebihan dan 'salah tempat', hasil akhir film ini tetaplah sesuatu yang mengesankan.


7. Hello Goodbye
'Hello Goodbye' merupakan film bertema drama percintaan yang ditangani dengan cukup baik. Biasanya, film dengan genre tersebut akan terasa membosankan jika ceritanya terlalu klise. Apalagi jika pemilihan aktor dan aktris utamanya tidak hati-hati.

Namun, dalam 'Hello Goodbye' alur cerita yang lambat tak terasa membosankan berkat akting yang bagus dari Rio dan Atiqah. Pengalaman menonton juga terasa menyenangkan dengan sajian visual yang ciamik.

Film yang skenarionya ditulis oleh Titin sendiri mengambil lokasi syuting di Busan, Korea Selatan. Director of Photography Yunus Pasolang cukup sukses menampilkan dengan detail keindahan kota pelabuhan tersebut.

Selain diperankan oleh Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto, film ini juga didukung oleh penyanyi papan atas Korea, Eru (Jo Sung-Hyun) yang memerankan seorang penyanyi jalanan. Film ini juga dibintangi Kenes Andari, Verdi Sulaiman, dan Abimana Aryasatya.



8. Jakarta Hati
Seorang anggota dewan yang membawa tas berisi uang satu milyar hasil korupsi dihadapkan dengan fakta seorang anak kelaparan yang dipukuli karena menyolong sepotong tempe. Seorang polisi muda berhadapan dengan ayahnya yang tukang tipu dan sudah lima tahun lenyap. Seorang penulis yang sedang kronis kondisi keuangannya harus mengantar anaknya menghadiri pesta ulang tahun anak orang kaya.

Itulah sebagian cerita yang disorot dalam film omnibus 'Jakarta Hati' yang disutradarai Salman Aristo. Ia mencoba memotret sisi lain kehidupan di kota Jakarta yang penuh lika-liku. Para aktor dan artis yang terlibat di film tersebut antara lain, Slamet Rahardjo, Andhika Pratama, Roy Marten, Dwi Sasono, Agni Pratistha, Dion Wiyoko, Shahnaz Haque, Framly Nainggolan, Surya Saputra, Asmirandah, Didi Petet dan Jajang C. Noer.


 
 9. Atambua 39 Celcius
'Atambua 39 Derajat Celcius' merupakan film terbaru kolaborasi dua sineas Riri Riza (penulis skenario, sutradara) dan Mira Lesmana (produser), yang sebelumnya pernah pula bersinergi dalam 'Eliana, Eliana' (2002), 'Gie' (2005), 'Untuk Rena' (2005), '3 Hari untuk Selamanya' (2007) dan 'Laskar Pelangi' (2008). Mengambil lokasi utama di Atambua, Nusa Tenggara Timur film ini menceritakan tentang pedihnya kehidupan pengungsi di perbatasan, setelah referendum Timor Timur (kini Timor Leste) pada 1999 lalu. Beberapa dari mereka yang memilih untuk tetap membela Indonesia menetap di Atambua tanpa kehidupan yang jelas.

Kisah referendum dan perpecahan Timor Timur 13 tahun lalu menjadi benang merah film yang keseluruhannya menggunakan bahasa Tetum ini. Namun, pada akhirnya film ini menggugah batin kita tentang makna kekeluargaan dan Tanah Air.




10. Mata Tertutup
Dibuat berdasarkan riset yang dilakukan Maarif Institut, film ini mengikuti perjalanan tiga anak muda berbeda latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Namun, mereka memiliki kesamaan problem: sama-sama krisis eksistensi, mencari pelarian, dan terjebak. Jebakan itu adalah ideologi fundamentalisme (agama) yang penuh rayuan membebaskan jiwa.

Judul 'Mata Tertutup' boleh jadi merupakan metafor bagi ideologi yang membutakan anak-anak muda "putus harapan" itu. Namun, secara harfiah "mata tertutup" juga menjadi cara bagi kelompok-kelompok fundamentalis itu ketika merekrut anggota baru.

Syuting di Yogyakarta, sutradara Garin Nugroho menampilkan para pemain teater setempat sebagai para pemeran utama film ini. Hasilnya adalah paduan akting yang natural dan ciamik. Mereka tampak lebih banyak berimprovisasi secara bebas, ketimbang digerakkan oleh sebuah skenario yang "jadi" dari awal. Meskipun sepi dari simbol-simbol dam metafora rumit seperti film-film sebelumnya, Garin tetap mempersembahkan gambar-gambar artistik yang telah menjadi ciri khasnya.

Mungkin memang inilah film Garin yang paling "mudah" ditonton. Kendati sejak awal dibuat dengan tujuan untuk pendidikan dan kampanye nilai-nilai anti-fundamentalisme, 'Mata Tertutup' tak seperti film propaganda yang verbal dan kaku. Sebaliknya, film ini berhasil menjadi sebuah karya yang bagus.

2 komentar: